Semakin tua usia reformasi justru membuat korupsi semakin menggila. Reformasi yang digadang-gadang bisa menekan bahkan memberantas para koruptor di Indonesia malah menjadi bumerang. Kini, segala aspek telah terjangkit virus korupsi, mulai dari anggota DPR hingga dirjen pajak melakukan tindak korupsi. Ironisnya, para penegak hukumnya pun tak mau ketinggalan melakukan korupsi. Cita-cita reformasi yang menginginkan Indonesia bebas korupsi nyatanya hanya berhasil melengserkan pemimpin orde baru saja, Soeharto. Setelah Soeharto turun tahta, para koruptor pun seakan bernyanyi lagu Nasional Gugur Bunga; “… mati satu tumbuh seribu…” (dalam hal korupsi).
Indonesia bisa diibaratkan keluar dari mulut singa, masuk mulut buaya dalam hal tindakan korupsi. Seperti tak ada perubahan, – bahkan berubah menjadi lebih buruk – korupsi berkembang pesat sepeninggal Soeharto dari tampuk kekuasaan di Indonesia. Korupsi yang dilakukan Soeharto memang berjumlah sangat besar, namun jumlah sebesar itu tak ada artinya jika dibandingkan dengan tindakan korupsi di era reformasi ini. Sebut saja kasus Bank Century, atau yang paling populer saat ini adalah kasus Gayus, dan juga masih banyak kasus lainnya. Dari dua kasus yang disebutkan pertama saja negara telah dirugikan hingga triliunan rupiah. Kasus Century saja sudah merugikan negara sebesar 6,7 triliun rupiah, belum lagi ditambah kasus penggelapan pajak yang dilakukan oleh pegawai pajak golongan III A Gayus Halomoan P. Tambunan. Ini jelas menunjukkan bahwa Indonesia belumlah sepenuhnya terbebas dari krisis moral para pejabatnya.
Para penegak hukum pun seperti kehilangan arah dalam upaya pemberantasan korupsi. Uang sudah membutakan mata para penegak hukum itu. Sebut saja pada kasus Gayus. Tercatat 10 kejanggalan dalam penanggulangan kasus tersebut (Koran TEMPO Senin, 22 November 2010 Halaman 1) yang 7 di antaranya melibatkan para penegak hukum dalam pengusutannya kasus tersebut. Kejanggalan yang terbaru tentu saja kasus keluarnya Gayus dari rumah tahanan Markas Komando Brimob untuk melakukan pelesir ke Bali. Kasus ini jelas menunjukkan bahwa polisi seperti tidak serius dalam menangani Gayus. Bagaimana mungkin bisa seorang tersangka yang sudah menghuni rumah tahanan bisa ditemukan sedang menonton tenis di Bali? Tentu ini menjadi sebuah tamparan keras terhadap penegakan hukum di Indonesia. Opini pun bermunculan, bahwa polisi sungguh tak serius dalam menusut kasus Gayus.
Korupsi memang telah menjangkit segala aspek dalam negara ini, tentu saja tak terkecuali lembaga penegak hukumnya. Polisi, jaksa, hingga hakim pun kini bisa disogok dengan sejumlah uang. Tujuannya, tentu saja rekayasa hukum, dan berbagai rekayasa lainnya. Penegak hukum sudah tidak objektif lagi. Dan lagi-lagi, rakyatlah yang menjadi korban, rakyatlah yang selalu dirugikan, karena yang dikorupsi itu tentu saja uang negara, dan itu adalah uang rakyat. Untuk itu, harus ada suatu hukuman yang tegas untuk membuat para koruptor itu takut untuk melakukan tindakan korupsi.
Munculah pertanyaan klasik, apakah hukuman yang pantas untuk para koruptor itu? Tentu jika melihat kondisi Indonesia yang menderita penyakit korupsi yang sangat parah ini, hukuman mati sepertinya akan menjadi jalan keluar yang terang dalam upaya pemberantasan korupsi. Biar bagaimana pun, hukuman mati akan memberikan sebuah efek jera dan rasa takut untuk melakukan korupsi, namun mantan pimpinan KPK, Bibit Samad Riyanto, mengatakan lain dalam forum seminar yang bertajuk “Format Hukuman yang Efektif Bagi Koruptor Hukuman Mati?”. Bibit menilai bahwa ancaman hukuman mati bagi para koruptor di Indonesia ternyata tidak akan memberikan efek jera pada pelaku korupsi dan tentu saja para koruptor tidak akan takut dengan ancaman itu. Menurutnya, akan sulit menuntut hukuman maksimal itu kepada para koruptor karena persepsi tiap lembaga hukum di Indonesia terhadap korupsi berbeda-beda. Selain itu untuk mengetahui hukuman mati itu memberikan efek jera atau tidak, tentu tidak akan terlihat karena hukuman itu tidak pernah diberlakukan sebelumnya.
Pada akhirnya, para koruptor hanya akan tertawa melihat upaya pemberantasan korupsi yang terkesan setengah hati itu. Presiden pun seperti malu-malu dalam menggunakan hak prerogatifnya dalam upaya pemberantasan korupsi. Kita seharusnya meniru hukum islam yang memotong tangan setiap orang yang mencuri, dan korupsi sama dengan mencuri. Pertanyaannya, siapkah pemimpin kita untuk menerapkan sistem hukuman yang berasal dari agama islam untuk menghukum para koruptor?
Depok, 26 November 2010
(Muhammad Atqo, Sastra Indonesia UI 2009)
HUKUMAN MATI BAGI KORUPTOR: BISAKAH?
Langganan:
Postingan (Atom)