...

0 komentar

Kemarin, aku terperangkap dalam sebuah permainan hati yang sangat mengerikan..
Aku membayangkan semua hanya sebagai mimpi dalam satu kali masa tidur..
Tak mengerti aku mengapa jadi begini..
Berkali-kali aku beristighfar, menyebut nama Allah atas "bencana" indah ini...

Masya Allah, apa yang telah aku lakukan?

Hanya 1 hari dari sekian banyak hari yang telah aku lewati dan akan aku lewati
telah mengubah alunan nafas dalam tidurku
membuat wajahku memerah sekejap dan memutih berkepanjangan..

Ah, seandainya kemarin aku tak hidup,
mungkin tak ada siksaan seperti ini dalam hidupku saat ini.

Aku menyesal telah merasakan keindahan ini..
Aku menyesal merasakan gelisah malam tadi..
Aku bersedih sekarang..
Apa yang harus aku lakukan?

Hari Ini 2 Tahun yang Lalu

1 komentar

Hari ini 2 tahun yang lalu...

Aku memulai semuanya...

Kecenderungan itu...

Rasa itu...

Kedekatan itu...

Senang itu...

Sedih itu...

Malu itu...

Nafsu itu...

Tawa itu...

Canda itu...

Tragedi itu...

Semuanya...

Dimulai hari ini 2 tahun yang lalu...

Kini...


Semua menghitam seolah-olah tak pernah ada waktu itu...

Ahh!!!

Menyesal!!!

Menyesal aku membencinya...
Menyesal aku mendambanya dulu...

Hari ini 2 tahun yang lalu...

Aku berubah...

Engkau berubah...

Selamat Tinggal...


*untuk yang di sana, semoga bahagia dengannya. sekarang aku pun telah sangat bahagia dengan kebersamaanku dengan-Nya. Lupakanlah hari ini 2 tahun yang lalu.

Kapankah Engkau Akan Punya Pacar, Fatimah?

2 komentar

artikel copas dari teman
bukan bermaksud menggurui..
semoga bermanfaat

Pertanyaan inilah yg selalu dilontarkan oleh teman-teman wanita Fatimah. Mereka sungguh merasa heran dengan Fatimah, yg belum punya pacar padahal umur fatimah sudah lebih dari sweet seventeen. Rata-rata hampir semua teman Fatimah sudah memiliki pacar, yang kata mereka pacaran itu indah bangat , serasa dunia milik berdua (waduhh..!). Diantara teman-teman Fatimah pun ada yang berjilbab (jilbab versi masa kini) dan sudah memiliki pacar.

Meraka juga terheran-heran sama Fatiamah. Kenapa demikian karena Fatimah termasuk gadis yg paling cantik dan manis diantara mereka. Aura kecantikan Fatimah begitu memikat mereka , padahal fatimah masih menggunakan hijab (pakian longgar yg menutup seluruh tubuhnya kecuali muka dan telapak tangan). Pernah suatu saat teman-teman wanita Fatimah datang ke rumah Fatimah untuk mengerjakan tugas kelompok. Kebetulan waktu itu Fatimah sedang mau mengerjakan sholat Zuhur, karena semua teman-temanya Fatimah adalah wanita. Fatimah tidak merasa khawatir untuk membuka Hijabnya untuk keperluan wudu, sehingga nampaklah rambut indah fatimah serta leher fatimah. Saat itu teman-teman wanita Fatimah melihat Fatimah tidak memakai penetup kepala dan rambut serta leharnya kelihatan, mereka semua terpana bahkan salah seorang berteriak histeris : Wooww imah kamu cantik sekali ..!. Fatimah tersenyum mendengar teriakan keterpesonaan temannya itu. Salah satu temannya berkata: “Imah kamu tidak kalah sama pemain sinetron yang cantik itu, itu lo si Bella..?!”. Fatimah membalas : “ si Bella siapa ya..?”. Salah satu temannya heran: “Aduh Imah kamu tidak tahu si bella , semua orang juga tahu lagi, dia pemain sinetron yang lagi naik daun lo”. “Maaf Imah gak pernah nonton sinetron” balas fatimah. Salah seorang dari mereka bercanda sambil nyindir : “Makanya Imah jangan baca buku agama terus dong, bosan tau, sekali-kali nonton sinetron kek, ke pub kek, nongkrong malam mingguan kek sama kita-kita, kan biar gaul gitu, kan malu nanti gak dibilang gaul , masak si Bella aja kagak kenal”. Fatimah hanya tersenyum sedih dan dalam hatinya berkata : “ Ya Allah berilah petunjuk kepada teman-temanku ini”.

Bukannya Fatimah tidak pernah memberikan nasehat kepada mereka bahkan sering . Namun mereka hanya tersenyum masam-masam aja seolah menganggap remeh nasehat dari Fatimah bahkan setelah diberi nasehat bukannya berterimakasih tetapi malah dibuat candaan . “ Iya bu ustadzah” kata seorang temannya saat itu (Astagafirulloh). Bahkan yang lebih gila lagi ada seorang temannya , yang menganjurkan Fatimah untuk membuka hijabnya dan menganjurkan berpakaian ketat. Alasannya agar semua pria bisa melihat pesona kecantikan wajah Fatimah dan keseksian tubuh Fatimah. “ Eh Imah , kita-kita kan tau kamu cantik, full cantik, kalau boleh usul ni , itu jilbab dibuka saja. Berpakain kayak kita-kita gitu lo. Aku yakin para pria tampan dan ganteng akan datang ke Imah, untuk mendapatkan cinta Imah, kita-kita sebagai teman ikut bangga lo , barangkali aja kita-kita dapat keciprakan pria ganteng sisa-sisa dari Imah (sambil tertawa genit) ..” . Begitu kata salah seorang teman sekolah Fatimah. Tentu saja Fatimah yang tahu hukum bertabbaruj itu menolak dengan keras usulan tersebut.

Dalam kesendiriannya Fatimah berdoa agar Allah menunjuki atau memberi hidayah teman-temannya. Fatimah pernah dengar dari seorang temannya yang berpendapat. “ Imah kamu kan tahu aku ini pake jilbab juga, yah walau pun beda-beda dikit aja sama kamu, tapi aku pacaran juga, kan tidak ada salahnya punya pacar asalkan kita bisa menjaga diri kita” . Begitu kata pendapat temannya.

Apakah dia tidak tahu bahwa islam sangat perhatian tentang menjaga hati. Islam tidak mengekang cinta seseorang karena itu sudah fitrah manusia berlainan jenis . Tetapi islam menganjurkan untuk mengikuti aturan yang ada. Aturan dari yang menciptakan cinta itu yaitu Allah. Mungkin pendapat temannya Fatimah itu benar bahwa mereka tidak melakukan apa-apa dan bisa jaga diri. Ok-lah anggap saja mereka tidak melakukan hubungan badan seperti suami isteri. Tetapi berkali-kali Fatimah menjelaskan ke teman-temannya bahwa zina itu bukan hanya hubungan badan diluar nikah tapi ada beberapa zina selain itu.

Kemudian Fatimah teringat bunyi hadist: ““Ditetapkan atas anak Adam bagiannya dari zina, akan diperolehnya hal itu, tidak bisa tidak. Kedua mata itu berzina, zinanya dengan memandang. Kedua telinga itu berzina, zinanya dengan mendengarkan. Lisan itu berzina, zinanya dengan berbicara. Tangan itu berzina, zinanya dengan memegang. Kaki itu berzina, zinanya dengan melangkah. Sementara itu, hati berkeinginan dan beranganangan sedangkan kemaluan yang membenarkan itu semua atau mendustakannya.” (H.R. Muslim: 2657, alBukhori: 6243).

Fatimah pernah membaca kitab dari imam An Nawawi tentang penjelasan hadis diatas bahwasanya : Pada anak Adam itu ditetapkan bagiannya dari zina. Di antara mereka ada yang melakukan zina secara hakiki dengan memasukkan farji (kemaluan)nya ke dalam farji yang haram. Ada yang zinanya secara majazi (kiasan) dengan memandang wanita yang haram, mendengar perbuatan zina dan perkara yang mengantarkan kepada zina, atau dengan sentuhan tangan di mana tangannya meraba wanita yang bukan mahromnya atau menciumnya, atau kakinya melangkah untuk menuju ke tempat berzina, atau melihat zina, atau menyentuh wanita yang bukan mahromnya, atau melakukan pembicaraan yang haram dengan wanita yang bukan mahromnya dan semisalnya, atau ia memikirkan dalam hatinya. Semuanya ini termasuk zina secara majazi.” (Syarah Shohih Muslim: 16/156157).

Sambil bergumam dalam hati Fatimah hampir dapat memastikan bahwa adakah di antara mereka tatkala berpacaran dapat menjaga pandangan mata mereka dari melihat yang haram sedangkan memandang wanita ajnabiyyah (bukan mahrom) atau lak-ilaki ajnabi (bukan mahrom) termasuk perbuatan yang diharamkan?!.

Salah seorang teman Fatimah berkata bahwa mereka berpacaran untuk proses pengenalan sebalum menuju ke pernikahan . Mereka berpendapat : “Bagaimana mungkin kita menikah tanpa pacaran terlebih dahulu tanpa mengenal masing-masing karekternya masing-masing. Gak mungkin dong ah” . Betul islam juga menganjurkan untuk mengenal pasangannya masing-masing tetapi bukan dengan cara berpacaran. Fatimah juga teringat akan hadis nabi berikut ini : : "Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka tidak boleh baginya berkhalwat (bedua-duaan) dengan seorang wanita, sedangkan wanita itu tidak bersama mahramnya. Karena sesungguhnya yang ketiga di antara mereka adalah setan" (HR Ahmad).

Fatimah teringat akan kisah seorang sahabat yang datang kepada Rasul. Sahabat ini datang kepada Rasul untuk menyampaikan niatnya bahwa dia ingin menikah. Kemudian Rasululloh bertanya : “ Bagus , tapi apakah kamu sudah mengenali calon mu itu..?” . Kemudian si sahabat rasul ini menjawab : “ Belum ya Rasul..”. Selanjutnya rasul menyuruh dia agar terlebih dahulu mengenalinya. Artinya kita diwajibkan untuk mengenal pasangan kita terlebih dahulu (Ta’aruf) tapi bukan dengan pacaran melainkan dengan aturan yang ada.

Kemudian Fatimah juga teringat akan hadis berikut : “Sekalikali tidak boleh seorang laki-laki bersepi-sepi dengan seorang wanita kecuali wanita itu bersama mahromnya.” (H.R. alBukhori: 1862, Muslim: 1338). Pada dasarnya kita mengenal wanita yang ingin kita nikahi itu bisa melalui mahromnya wanita tersebut. Jadi bukan berdua-duan. Jika misalnya kita ingin meneliti akhlak si wanita tersebut tanpa sepengetahuannya kita boleh mengutus seseorang untuk menelitinya. Misalnya dengan temannya si mahrom wanita tersebut. Atau bisa juga memanfaatkan teknologi yang lagi ngetrend sekarang. Tukar biodatanya masing-masing via email. Juga bisa juga lewat chatting tetapi perlu diingat juga chatting disini bukan tidak ada batasnya. Dilarang chatting bebas artinya harus dalam rambu-rambu yang dibenarkan. Tidak boleh ada kata-kata maksiat atau yang lagi ngetren sekarang dengan menggunakan kata cinta-cintaan, sayang-sayangan dan sejenis itu. Chatting disini dilakukan semata-mata untuk mengenal si wanita tersebut. Saling tukar menukar informasi yang berguna ke proses penganalan tersebut dan tidak mengarah kepada maksiat juga tidak melalaikan serta mengotori hati.

Fatimah tidak mau menyalahkan sepenuhnya persepsi atau pandangan dari teman-temannya itu. Fatimah sadar bahwa yang mempengaruhi mereka adalah media-media ala barat , juga pergaulan ala barat yang banyak digemari sekarang ini. Fatimah menyadari bahwa acara-acara televisi sekarang mulai dari lagu-lagunya , filem-filemnya sampai sinetron-sinetronnya kebanyakan menyajikan cinta berlainan jenis. Dan cinta itu diwujudkan dengan pacaran dan mereka terjebak dalam lingkaran setan pergaulan seperti itu.

Fatimah dalam sholatnya dan dalam kesendiriannya hanya bisa berdoa : “ Ya Allah berilah hidayah kepada teman-teman hamba agar bisa merasakan, menikmati indahnya hasil menjaga hati, indahnya menjaga bagian tubuh ini dari hal-hal yang Engkau larang. Tangan ini hanya untuk dijalanMU , Mata ini hanya untuk melihat yg tidak Engkau larang dan segala anggota tubuh ini adalah amanah dariMU, yang engkau perintahkan untuk digunakan dijalanMU. Ya Allah berilah kenikmatan dan keinginan yang luar biasa, bagi hambaMU ini dan teman-teman hambaMU untuk selalu berada dijalanMU dan berilah kebencian yang luar biasa bagi hambaMU ini dan teman-teman hamba dari hal-hal yang Engkau larang. Sesungguhnya Engkau maha mendengar dan maha penyayang bagi hambaMU yang ikhlas memohon kepadaMU amin ya Allah”.

Seraya meneteskan air mata begitulah doa singkat yang selalu di lafazkan oleh Fatimah dalam setiap sholatnya dan dalam kesendiriaannya.

SELAMAT TINGGAL

0 komentar

Namaku Nuraini Prameswari, biasa dipanggil Aini. Aku putri tunggal dari keluarga Prabu Prameswari, seorang pengusaha kaya raya yang memiliki berbagai perusahaan di Nusantara. Banyak orang bilang aku beruntung dilahirkan dari keluarga Prameswari, karena memiliki harta yang sangat banyak, sehingga apapun yang aku inginkan aku akan mendapatkannya. Wajahku juga cantik, dan otakku cerdas, jadi aku memilki segalanya yang aku inginkan. Namun harta yang banyak tidak dapat membeli teman. Wajah yang cantik tidak dapat menarik banyak teman, dan otak yang cerdas, bukan berarti aku cerdas dalam pergaulan. Sejak kecil aku memiliki sifat yang sulit bergaul dengan teman-temanku. Aku tidak memiliki banyak teman, karena sejak kecil aku memang memiliki sifat sulit untuk berteman. Sehingga sejak Taman Kanak-kanak sampai kelas 6 SD, aku selalu dijauhi oleh teman-teman. Sahabat merupakan suatu hal yang sangat mahal untukku.

Hidup seperti itu sangat membuatku tersiksa, karena aku tak memiliki seseorang yang bisa kuajak bercanda dan bercerita. Namun hidupku berubah saat aku masuk SMP. Aku masuk SMP favorit di kotaku. Aku kira aku tak akan mendapatkan teman juga disini, tapi ternyata kehidupan SMP berbeda dari kehidupanku sebelumnya. Semua bermula dari wanita yang duduk di belakang kursiku. Dengan ramah dia menyapaku. “Rambutmu indah sekali. Siapa namamu?” sapa wanita itu sambil menyunggingkan senyum yang manis. “Aini, kamu siapa?” “Aku Riska, salam kenal.” Jawabnya sambil kembali menyunggingkan senyumnya yang manis. Riska seorang wanita yang cantik, kulitnya putih dan wajahnya oval. Rambutnya lurus dan dikepang dua, sehingga membuatnya tampak semakin manis.
Sejak saat itu, aku dan Riska menjadi sahabat. Karena sifat Riska yang mudah berteman dengan siapa saja dan terbuka, maka berteman denganku pun dia tak masalah. Berbeda dengan teman-teman SD-ku yang tidak mau menerimaku dan sifatku yang sulit untuk bergaul. Di sini aku untuk pertama kalinya merasakan arti seorang teman. Di sini aku untuk pertama kalinya aku bercanda dan tertawa dengan seorang teman. Lama-lama aku memiliki banyak teman yang dekat denganku, dan menjadi sangat populer di sekolahku. Namun tetap saja aku merasa aneh. Aneh akan diriku sendiri. Entah mengapa, aku belum bisa bersikap terbuka kepada mereka. Padahal mereka selalu bersikap terbuka kepadaku tentang apapun, tapi aku tak bisa seperti mereka. Aku merasa aku tak pantas mendapat teman sebaik mereka. Aku takut mereka membenciku karena sifatku ini.

Kehidupanku yang dipenuhi teman berlanjut hingga tahun terakhir aku sekolah di SMP. Saat itu 1 minggu menjelang perpisahan sekolah. Teman-teman dan wali kelas sepakat untuk mengadakan perpisahan kelas. Akhirnya diputuskan, kelasku, kelas 3-5 mengadakan piknik ke Puncak dan menginap selama 1 minggu di sana. Seperti biasa, aku selalu bersama dengan Riska, jadi di bis, aku pun duduk dengannya, bersama dua teman dekatku yang lain, Sari dan Winda. Kami membicarakan tentang kisah masa lalu. “Hei, kalian ingat tidak dengan janji kita saat kita masih kelas 1 dulu?” tanya Riska. “Janji apa?” susul Winda. “Kita kan pernah berjanji akan mengatakan siapa pria yang kita sukai saat perpisahan kelas ini, masa’ kalian lupa?” jelas Riska. “Oh, aku lupa. Benar, kita pernah berjanji. Kalau begitu, ayo kita tepati janji kita dulu itu sekarang, disini.” Ucap Sari dengan bersemangat. “Bagaimana, Aini? Kita sudah janji ‘kan?” ucap Riska sambil melirikku sinis, seakan dia tahu apa yang ada di dalam pikiranku. “Oh… eh… iya, kita pernah berjanji. Tapi….” “Tapi apa?” sergah Winda. “Tapi… bagaimana, ya? Aku tidak memiliki seorang pria yang aku sukai.” Jawabku berbohong. “Jangan bercanda, Aini! Kau sudah berjanji padaku, dan pada kami!” seru Riska. “Iya, Aini, katakan saja! Mungkin saja kau tidak akan memiliki kesempatan lagi untuk mengatakannya pada kami. Kau tahu sendiri, setelah ini, kita akan lulus dan akan melanjutkan ke SMA yang berbeda, kita tak akan pernah betatap muka seperti ini lagi. Kau akan menyesal.” Ujar Sari. Kata-kata Sari mencekat tenggorokanku sehingga tak sepatah kata-pun keluar dari mulutku. “Tapi….” Aku bicara tergagap. “Katakan saja, Aini, mungkin saja kami bisa membantumu mengatakan cintamu padanya.” Timpal Winda. Aku hanya terdiam memandang ke luar jendela. Pohon-pohon berkejaran seperti bocah yang sedang asyik bermain bersama temannya.

Bis berjalan ngebut tapi tenang sekali, seperti tak ada angin berhembus, dan jalanan mulus tanpa goncangan sedikitpun. Bis bagai berjalan di atas lapisan es yang licin dan halus tanpa cacat. Di dalam bis, anak-anak yang lain sedang asyik bersenda gurau. Ada yang bernyanyi dan tertawa. Di depan, Ibu Wali Kelas sedang berbicara dengan Heru, Ketua Kelas 3-5. Semua senang, tak ada rasa gelisah, bahkan sedih di wajah mereka. Sedangkan aku, disini aku terjebak dengan janji yang aku ucapkan 3 tahun lalu. Pikiranku menerawang. Aku menyalahkan diriku sendiri, mengapa aku dulu berjanji untuk mengatakan siapa pria yang kusuka. Kalau saja aku tidak berjanji, mungkin aku tak akan terjebak dalam situasi seperti ini. Situasi yang sangat menyulitkanku. Pikiranku menerawang jauh sampai suara Riska membuyarkan lamunanku. “Sudahlah, tidak usah memaksa Aini! Dipaksa seperti apapun dia tak akan berbicara.” Kata-kata Riska bagaikan petir yang menyambar. Membuatku tergagap. “Bu… bukan begitu maksudku….” “Sudahlah, tak usah kau paksakan!” sambar Riska. “Kau jahat, Aini! Padahal aku selalu becerita dan terbuka di depanmu, tapi kau tak mau mengatakan apapun, padahal ini sudah menjadi kesepakatan!” lanjut Riska. Namun ketika aku hendak berbicara, tiba-tiba saja mobil berguncang keras sekali dan terdengat suara rem yang diinjak kuat-kuat. Setelah itu semua gelap.

Begitu terbangun, ternyata bis sudah berhenti. Aku mendapati diriku sendirian di dalam bis. Aku ditinggal teman-temanku. Begitu keluar, Ibu wali kelas telah selesai memberikan intruksinya. Aku ketinggalan. Aku harus bertanya pada seseorang tentang apa yang tadi Ibu wali kelas katakan. Namun semua orang mengacuhkanku. Akhirnya aku melihat orang yang kucari. Riska berjalan bersama Winda dan Sari. “Riska! Tadi Bu Imah bilang apa sih?” tanyaku. Riska menengok dan hanya memandangku dengan tatapan dingin. Lalu dia melengos, dan terus saja berjalan meninggalkanku. Saat aku hendak menyusulnya, aku malah dicegah oleh Heru “Kau tak boleh ke vila!” ujarnya. “Kenapa?” tanyaku bingung. “Kau tak boleh meninggalkan barangmu di bis. Bawa barangmu dulu, baru kau boleh masuk ke vila.” Ujarnya. Setelah Heru mengatakan itu aku bergegas mengambil barangku yang kutinggalkan di bis, dan berlari menuju vila sambil menenteng tasku yang tak begitu besar namun berat sekali, sehingga aku kesulitan untuk berlari dan menyusul Riska. Sampai di vila aku langsung mencari Riska dan temanku yang lain, dan menemukan mereka di dalam sebuah kamar, sedang membongkar barang-barang mereka. Aku masuk ke kamar tersebut. “Riska… boleh aku tidur di sini?” sapaku. “Ayo, kita pindah kamar saja.” Jawab Riska. “Dia marah padaku.” Kataku dalam hati. Aku ditinggal sendirian di kamar itu. Aku mendesah kecewa dan sedih. Akhirnya aku tetap berdiam diri di kamar itu. Kupikir tak ada salahnya tidur sendirian.
Setelah membereskan barang-barang bawaanku, aku langsung menuju kamar mandi yang ada di kamar, karena sejak dari tadi aku sudah menahan untuk buang air kecil. Dalam kamar mandi yang bergaya Eropa dan luas itu, aku terpeleset dan jatuh, kepalaku terbentur tembok. Aku mengaduh dan mengumpat sendirian. Aku kesulitan untuk bangun. Dengan susah payah aku bangun dan pergi ke luar kamar untuk meminta obat memar kepada seseorang. Namun, ternyata vila itu menjadi sepi sekali. Kupikir ada gangguan dengan telingaku akibat terbentur tadi sehingga tidak kudengar suara teman-teman 1 kelasku di sana. Namun setelah sadar, aku baru tahu ternyata tidak ada seorang pun di sana. Kucari teman-temanku di berbagai penjuru vila, namun aku tidak menemukan satupun dari mereka. Barang-barangnya pun tidak ada. “Apa aku ditinggal?” pikirku.
Aku bergegas mencari mereka ke luar vila. Ternyata hari sudah gelap. Aku mencari mereka dalam kegelapan. “Riska… Winda… Heru… Bu Imah…” aku menyerukan nama mereka, namun tak ada satupun yang menyahut. “mungkin mereka ada di bis.” Pikirku. Akhirnya aku mencoba untuk kembali ke bis, dan ternyata benar, mesin bis sudah dinyalakan dan mereka sudah siap untuk pulang. “Tungguuuu… kenapa aku ditinggal?” teriakku. Namun tak ada seorang pun yang keluar. “Tunggu aku....” aku kembali berteriak lirih memanggil bis itu. Aku terus berteriak di samping bis yang hendak berangkat itu. Akhirnya ada seseorang yang keluar dari bis. Dia Riska. Wajahku berbinar melihat Riska keluar dari bis. “Kau tak boleh ikut, Aini. Kami semua sepakat untuk meninggalkanmu disini.” Ujar Riska. Seketika kegembiraanku menguap. “Kenapa? Kenapa aku tak boleh ikut?” jawabku lirih. Namun Riska tak menjawab dan masuk kembali ke dalam bis. Bis berjalan meninggalkanku, aku berteriak parau. “Tunggu… kumohon tunggu aku… aku ingin ikut… aku… aku menyukai kalian… aku… suka berteman dengan kalian….” Jeritku sambil menangis. Bis itu akhirnya berhenti, dan Riska kembali keluar bis. “Itu yang selama ini aku ingin dengar darimu, Aini. Seandainya kau mengatakannya lebih cepat, mungkin kau tak akan kami tinggal. Tapi sayang, kau terlambat dan harus kami tinggal.” Ujar Riska. Dan bis itu pergi meninggalkanku.
Aku menangis, dan menangis, sampai akhirnya semua menjadi gelap. “Ah, dimana aku? Kenapa kakiku sakit?” kataku dalam hati. Sedikit demi sedikit aku membuka mataku. “Ibu… mengapa ada Ibu?” pikirku. “Alhamdulillah, Aini, kau sadar… Dokter! Aini sadar!” kata ibu sambil menitikkan air mata. Setelah sadar, aku tahu ternyata aku ada di Rumah Sakit. Ibu menceritakan kejadian yang menimpaku hingga aku sampai di Rumah Sakit. “Bismu kecelakaan dan masuk jurang, nak… semua temanmu meninggal, dan hanya kau yang selamat…” ujar Ibu sambil terisak.

Cerita dari Ibu, membuat tubuhku ngilu bukan main. Tulang-tulangku serasa dilolosi dari tubuhku. Aku menangis sejadi-jadinya. Jadi, guncangan itu, adalah saat bis masuk ke jurang, dan semua yang aku alami, hanya mimpi. Air mataku, tak kuasa untuk kubendung.

Riska, seandainya aku lebih terbuka padamu. Ah, semua sudah berlalu, dan hanya menjadi kenangan buruk, dan penyesalan seumur hidupku.

Serang, 22 Desember 2008