SELAMAT TINGGAL

Namaku Nuraini Prameswari, biasa dipanggil Aini. Aku putri tunggal dari keluarga Prabu Prameswari, seorang pengusaha kaya raya yang memiliki berbagai perusahaan di Nusantara. Banyak orang bilang aku beruntung dilahirkan dari keluarga Prameswari, karena memiliki harta yang sangat banyak, sehingga apapun yang aku inginkan aku akan mendapatkannya. Wajahku juga cantik, dan otakku cerdas, jadi aku memilki segalanya yang aku inginkan. Namun harta yang banyak tidak dapat membeli teman. Wajah yang cantik tidak dapat menarik banyak teman, dan otak yang cerdas, bukan berarti aku cerdas dalam pergaulan. Sejak kecil aku memiliki sifat yang sulit bergaul dengan teman-temanku. Aku tidak memiliki banyak teman, karena sejak kecil aku memang memiliki sifat sulit untuk berteman. Sehingga sejak Taman Kanak-kanak sampai kelas 6 SD, aku selalu dijauhi oleh teman-teman. Sahabat merupakan suatu hal yang sangat mahal untukku.

Hidup seperti itu sangat membuatku tersiksa, karena aku tak memiliki seseorang yang bisa kuajak bercanda dan bercerita. Namun hidupku berubah saat aku masuk SMP. Aku masuk SMP favorit di kotaku. Aku kira aku tak akan mendapatkan teman juga disini, tapi ternyata kehidupan SMP berbeda dari kehidupanku sebelumnya. Semua bermula dari wanita yang duduk di belakang kursiku. Dengan ramah dia menyapaku. “Rambutmu indah sekali. Siapa namamu?” sapa wanita itu sambil menyunggingkan senyum yang manis. “Aini, kamu siapa?” “Aku Riska, salam kenal.” Jawabnya sambil kembali menyunggingkan senyumnya yang manis. Riska seorang wanita yang cantik, kulitnya putih dan wajahnya oval. Rambutnya lurus dan dikepang dua, sehingga membuatnya tampak semakin manis.
Sejak saat itu, aku dan Riska menjadi sahabat. Karena sifat Riska yang mudah berteman dengan siapa saja dan terbuka, maka berteman denganku pun dia tak masalah. Berbeda dengan teman-teman SD-ku yang tidak mau menerimaku dan sifatku yang sulit untuk bergaul. Di sini aku untuk pertama kalinya merasakan arti seorang teman. Di sini aku untuk pertama kalinya aku bercanda dan tertawa dengan seorang teman. Lama-lama aku memiliki banyak teman yang dekat denganku, dan menjadi sangat populer di sekolahku. Namun tetap saja aku merasa aneh. Aneh akan diriku sendiri. Entah mengapa, aku belum bisa bersikap terbuka kepada mereka. Padahal mereka selalu bersikap terbuka kepadaku tentang apapun, tapi aku tak bisa seperti mereka. Aku merasa aku tak pantas mendapat teman sebaik mereka. Aku takut mereka membenciku karena sifatku ini.

Kehidupanku yang dipenuhi teman berlanjut hingga tahun terakhir aku sekolah di SMP. Saat itu 1 minggu menjelang perpisahan sekolah. Teman-teman dan wali kelas sepakat untuk mengadakan perpisahan kelas. Akhirnya diputuskan, kelasku, kelas 3-5 mengadakan piknik ke Puncak dan menginap selama 1 minggu di sana. Seperti biasa, aku selalu bersama dengan Riska, jadi di bis, aku pun duduk dengannya, bersama dua teman dekatku yang lain, Sari dan Winda. Kami membicarakan tentang kisah masa lalu. “Hei, kalian ingat tidak dengan janji kita saat kita masih kelas 1 dulu?” tanya Riska. “Janji apa?” susul Winda. “Kita kan pernah berjanji akan mengatakan siapa pria yang kita sukai saat perpisahan kelas ini, masa’ kalian lupa?” jelas Riska. “Oh, aku lupa. Benar, kita pernah berjanji. Kalau begitu, ayo kita tepati janji kita dulu itu sekarang, disini.” Ucap Sari dengan bersemangat. “Bagaimana, Aini? Kita sudah janji ‘kan?” ucap Riska sambil melirikku sinis, seakan dia tahu apa yang ada di dalam pikiranku. “Oh… eh… iya, kita pernah berjanji. Tapi….” “Tapi apa?” sergah Winda. “Tapi… bagaimana, ya? Aku tidak memiliki seorang pria yang aku sukai.” Jawabku berbohong. “Jangan bercanda, Aini! Kau sudah berjanji padaku, dan pada kami!” seru Riska. “Iya, Aini, katakan saja! Mungkin saja kau tidak akan memiliki kesempatan lagi untuk mengatakannya pada kami. Kau tahu sendiri, setelah ini, kita akan lulus dan akan melanjutkan ke SMA yang berbeda, kita tak akan pernah betatap muka seperti ini lagi. Kau akan menyesal.” Ujar Sari. Kata-kata Sari mencekat tenggorokanku sehingga tak sepatah kata-pun keluar dari mulutku. “Tapi….” Aku bicara tergagap. “Katakan saja, Aini, mungkin saja kami bisa membantumu mengatakan cintamu padanya.” Timpal Winda. Aku hanya terdiam memandang ke luar jendela. Pohon-pohon berkejaran seperti bocah yang sedang asyik bermain bersama temannya.

Bis berjalan ngebut tapi tenang sekali, seperti tak ada angin berhembus, dan jalanan mulus tanpa goncangan sedikitpun. Bis bagai berjalan di atas lapisan es yang licin dan halus tanpa cacat. Di dalam bis, anak-anak yang lain sedang asyik bersenda gurau. Ada yang bernyanyi dan tertawa. Di depan, Ibu Wali Kelas sedang berbicara dengan Heru, Ketua Kelas 3-5. Semua senang, tak ada rasa gelisah, bahkan sedih di wajah mereka. Sedangkan aku, disini aku terjebak dengan janji yang aku ucapkan 3 tahun lalu. Pikiranku menerawang. Aku menyalahkan diriku sendiri, mengapa aku dulu berjanji untuk mengatakan siapa pria yang kusuka. Kalau saja aku tidak berjanji, mungkin aku tak akan terjebak dalam situasi seperti ini. Situasi yang sangat menyulitkanku. Pikiranku menerawang jauh sampai suara Riska membuyarkan lamunanku. “Sudahlah, tidak usah memaksa Aini! Dipaksa seperti apapun dia tak akan berbicara.” Kata-kata Riska bagaikan petir yang menyambar. Membuatku tergagap. “Bu… bukan begitu maksudku….” “Sudahlah, tak usah kau paksakan!” sambar Riska. “Kau jahat, Aini! Padahal aku selalu becerita dan terbuka di depanmu, tapi kau tak mau mengatakan apapun, padahal ini sudah menjadi kesepakatan!” lanjut Riska. Namun ketika aku hendak berbicara, tiba-tiba saja mobil berguncang keras sekali dan terdengat suara rem yang diinjak kuat-kuat. Setelah itu semua gelap.

Begitu terbangun, ternyata bis sudah berhenti. Aku mendapati diriku sendirian di dalam bis. Aku ditinggal teman-temanku. Begitu keluar, Ibu wali kelas telah selesai memberikan intruksinya. Aku ketinggalan. Aku harus bertanya pada seseorang tentang apa yang tadi Ibu wali kelas katakan. Namun semua orang mengacuhkanku. Akhirnya aku melihat orang yang kucari. Riska berjalan bersama Winda dan Sari. “Riska! Tadi Bu Imah bilang apa sih?” tanyaku. Riska menengok dan hanya memandangku dengan tatapan dingin. Lalu dia melengos, dan terus saja berjalan meninggalkanku. Saat aku hendak menyusulnya, aku malah dicegah oleh Heru “Kau tak boleh ke vila!” ujarnya. “Kenapa?” tanyaku bingung. “Kau tak boleh meninggalkan barangmu di bis. Bawa barangmu dulu, baru kau boleh masuk ke vila.” Ujarnya. Setelah Heru mengatakan itu aku bergegas mengambil barangku yang kutinggalkan di bis, dan berlari menuju vila sambil menenteng tasku yang tak begitu besar namun berat sekali, sehingga aku kesulitan untuk berlari dan menyusul Riska. Sampai di vila aku langsung mencari Riska dan temanku yang lain, dan menemukan mereka di dalam sebuah kamar, sedang membongkar barang-barang mereka. Aku masuk ke kamar tersebut. “Riska… boleh aku tidur di sini?” sapaku. “Ayo, kita pindah kamar saja.” Jawab Riska. “Dia marah padaku.” Kataku dalam hati. Aku ditinggal sendirian di kamar itu. Aku mendesah kecewa dan sedih. Akhirnya aku tetap berdiam diri di kamar itu. Kupikir tak ada salahnya tidur sendirian.
Setelah membereskan barang-barang bawaanku, aku langsung menuju kamar mandi yang ada di kamar, karena sejak dari tadi aku sudah menahan untuk buang air kecil. Dalam kamar mandi yang bergaya Eropa dan luas itu, aku terpeleset dan jatuh, kepalaku terbentur tembok. Aku mengaduh dan mengumpat sendirian. Aku kesulitan untuk bangun. Dengan susah payah aku bangun dan pergi ke luar kamar untuk meminta obat memar kepada seseorang. Namun, ternyata vila itu menjadi sepi sekali. Kupikir ada gangguan dengan telingaku akibat terbentur tadi sehingga tidak kudengar suara teman-teman 1 kelasku di sana. Namun setelah sadar, aku baru tahu ternyata tidak ada seorang pun di sana. Kucari teman-temanku di berbagai penjuru vila, namun aku tidak menemukan satupun dari mereka. Barang-barangnya pun tidak ada. “Apa aku ditinggal?” pikirku.
Aku bergegas mencari mereka ke luar vila. Ternyata hari sudah gelap. Aku mencari mereka dalam kegelapan. “Riska… Winda… Heru… Bu Imah…” aku menyerukan nama mereka, namun tak ada satupun yang menyahut. “mungkin mereka ada di bis.” Pikirku. Akhirnya aku mencoba untuk kembali ke bis, dan ternyata benar, mesin bis sudah dinyalakan dan mereka sudah siap untuk pulang. “Tungguuuu… kenapa aku ditinggal?” teriakku. Namun tak ada seorang pun yang keluar. “Tunggu aku....” aku kembali berteriak lirih memanggil bis itu. Aku terus berteriak di samping bis yang hendak berangkat itu. Akhirnya ada seseorang yang keluar dari bis. Dia Riska. Wajahku berbinar melihat Riska keluar dari bis. “Kau tak boleh ikut, Aini. Kami semua sepakat untuk meninggalkanmu disini.” Ujar Riska. Seketika kegembiraanku menguap. “Kenapa? Kenapa aku tak boleh ikut?” jawabku lirih. Namun Riska tak menjawab dan masuk kembali ke dalam bis. Bis berjalan meninggalkanku, aku berteriak parau. “Tunggu… kumohon tunggu aku… aku ingin ikut… aku… aku menyukai kalian… aku… suka berteman dengan kalian….” Jeritku sambil menangis. Bis itu akhirnya berhenti, dan Riska kembali keluar bis. “Itu yang selama ini aku ingin dengar darimu, Aini. Seandainya kau mengatakannya lebih cepat, mungkin kau tak akan kami tinggal. Tapi sayang, kau terlambat dan harus kami tinggal.” Ujar Riska. Dan bis itu pergi meninggalkanku.
Aku menangis, dan menangis, sampai akhirnya semua menjadi gelap. “Ah, dimana aku? Kenapa kakiku sakit?” kataku dalam hati. Sedikit demi sedikit aku membuka mataku. “Ibu… mengapa ada Ibu?” pikirku. “Alhamdulillah, Aini, kau sadar… Dokter! Aini sadar!” kata ibu sambil menitikkan air mata. Setelah sadar, aku tahu ternyata aku ada di Rumah Sakit. Ibu menceritakan kejadian yang menimpaku hingga aku sampai di Rumah Sakit. “Bismu kecelakaan dan masuk jurang, nak… semua temanmu meninggal, dan hanya kau yang selamat…” ujar Ibu sambil terisak.

Cerita dari Ibu, membuat tubuhku ngilu bukan main. Tulang-tulangku serasa dilolosi dari tubuhku. Aku menangis sejadi-jadinya. Jadi, guncangan itu, adalah saat bis masuk ke jurang, dan semua yang aku alami, hanya mimpi. Air mataku, tak kuasa untuk kubendung.

Riska, seandainya aku lebih terbuka padamu. Ah, semua sudah berlalu, dan hanya menjadi kenangan buruk, dan penyesalan seumur hidupku.

Serang, 22 Desember 2008

0 komentar: (+add yours?)

Posting Komentar