Aku berjalan perlahan menyusuri trotoar dengan lelah yang memuncak. Bukan hanya lelah raga kurasa, lelah pun menerpa batin yang hakekatnya tersembunyi. Padang rumput di samping trotoar seakan tahu kelelahan batinku dengan ikut menyepi, terdiam melihatku berjalan dengan membawa jutaan lelah. Tapi mereka memang selalu diam, tak memiliki mulut dan tak bersuara jika tak disuarakan. Sesekali angin berhembus pelan, sedikit menyejukkan tubuh yang sudah sangat kepanasan. Di depan terlihat seorang bocah berjalan menyusuri trotoar yang juga sedang kulalui. Baju yang ia kenakan dekil tak pernah dicuci berhari-hari. Rambutnya kusut menandakan bahwa ia tak pernah memiliki kesempatan untuk mencuci rambutnya. Matanya nanar mencari-cari sesuatu yang harus ia setorkan pada sore harinya. Di dalam got yang kering tanpa air di samping jalan yang kami lalui ia menemukan sesuatu yang sepertinya semakin menumbuhkan semangatnya di tengah terik matahari yang semakin menggila ini. Tanpa ragu ia melompat ke dalam got tersebut. Mau tak mau hatiku terusik untuk mengetahui apa yang ia cari di dalam got tanpa air tersebut. Wajah puas memancar saat ia kembali dari dalam got. Tangannya memasukkan beberapa botol plastik ke dalam karung besar yang sepertinya telah ia bawa sejak subuh hingga siang hari ini. Kembali ia berjalan menyusuri jalanan untuk mencari botol-botol plastik lainnya. Aku pun kembali meneruskan lelahku. Masih cukup jauh jarak yang harus kulalui.
Dalam perjalanan aku memikirkan, mengapa harus ada anak jalanan dan pemulung seperti anak tadi? Berjuta kata “kalau saja” memenuhi otakku, menambah lelah batinku saja. Namun pikiran itu terus berkelebatan di dalam kepalaku tanpa bisa kubendung. Sesaat berikutnya aku melihat seorang kakek tua berjalan mendorong sepeda onthel tua dengan keranjang penuh berisi nasi uduk yang terbungkus rapi. Siang panas begini mana ada yang mau makan nasi uduk, pikirku. Sesekali si Kakek mengelap peluhnya dengan sapu tangan yang ia simpan di dalam kantong celananya dan mengibas-ngibaskan bajunya untuk mengusir gerah di tubuhnya. Setelah dekat si Kakek menawariku untuk membeli nasi uduknya. Tergerak hatiku untuk membelinya, namun keadaan isi dompetku menolak segala keinginan hatiku itu. Dengan disertai senyum tulus kuangkat tangan kananku untuk menolaknya. Wajahnya jelas mengguratkan kekecewaan. Ah, kakek, kau sudah begitu tua dan lemah, mengapa tak kau suruh saja anak atau cucumu yang masih muda dan kuat untuk menjual nasi uduk itu? Atau mungkin anak-anaknya sudah memiliki pekerjaan di kantor yang nyaman, sehingga mereka tak sudi lagi untuk berjualan nasi uduk keliling? Kembali pikiran-pikiran itu menambah lelah batinku, dan aku pun mau tak mau harus setia mendengar pikiranku bersahutan. Lelah rasanya.
Perjalanan kuteruskan. Entah berapa banyak sopir angkutan umum menawariku untuk ikut bersama mobilnya, namun dengan berat hati aku harus menolaknya, padahal sudah sangat lelah kaki ini.
Aku bagai mendapatkan suntikan tenaga yang sangat besar saat perjalanan sudah mendekati titik akhir, yakni rumahku. Semakin dekat dan semakin dekat ketika kudengar sayup-sayup keributan di belakangku. Kutolehkan wajah, nampak seorang bocah yang dengan karung besar di pundaknya sedang berlari. Wajahnya pucat pasi. Rupanya ia sangat ketakutan. Di belakangnya puluhan orang mengejarnya dengan wajah-wajah marah mereka. Beragam sumpah serapah keluar dari mulut mereka mengiringi teriakan “maling!” yang saling bersahut-sahutan. Si bocah dengan wajah memelas meminta pertolongan dariku ketika ia melintas di depanku. Para pengejar sudah semakin dekat. Ah, aku hanya wanita yang lemah fisik dan keberaniannya. Kuabaikan permintaan tolong si bocah karena aku takut kepada warga-warga yang marah tersebut. Si bocah yang merasa tak mendapat pertolongan dariku, melanjutkan larinya. Sial untuknya, tepat di depan rumahku, ia jatuh tersungkur. Dagunya berdarah. Ia tertangkap dan dipukuli hingga babak belur tanpa sedikit pun mereka memberi kesempatan untuk si bocah membela diri. Rupanya ia disangka telah mencopet. Ya, hanya disangka saja. Bukan berarti benar ia yang telah mencopet. Warga menghajarnya dengan penuh kemarahan seakan-akan mereka sendirilah yang kecopetan. Si bocah hanya bisa meminta ampun tanpa ada seorang pun yang mengacuhkannya. Sering kulihat kejadian seperti itu di berita-berita kriminal, dan tak kusangka aku menyaksikan sendiri adegan tersebut di depan rumahku sendiri. Rasa miris dan malu muncul dan menambah lelah batinku. Jadi, inikah budaya masyarakat Indonesia? Kasar dan main hakim sendiri. Betapa malunya diriku menjadi bagian dari masyarakat yang anarkhis seperti itu. Apakah kita hanya akan bernafas panjang dan seperti biasa sabar mengurut dada? (1)
Depok, 2010
Muhammad Atqo Ferip (Sastra Indonesia 2009)
1.Dikutip dari puisi Taufik Ismail yang berjudul Malam Sabtu
Alangkah Kasarnya Bangsa Ini
Atqo Muhammad
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar: (+add yours?)
Posting Komentar