Sengaja aku buat puisi ini
Karena hati ini lelah menjadi dingin
Sengaja aku membuat puisi
Agar tak terbaca isi hati ini
Ah, pengecut sekali diriku
Bagai anak yang jauh dari ibu
Aku bagai terjerumus ke dalam sebuah cinta
Cinta yang membuat buta
Tapi aku tak tahu apa arti cinta
Yang kadang membuat manusia terlena
Cinta, hadirlah di pelupuk mataku,
jangan jerumuskan aku
Depok, 2010
Muhammad Atqo (Sastra Indonesia UI 2009)
Terjerumus Cinta
Iseng Aja
Saya memang bukan penulis yang handal, ya, memang saya akui itu. Saya tidak seperti kebanyakan mahasiswa, khususnya jurusan Sastra Indonesia, yang lain yang sangat produkti dalam hal tulis menulis, tetapi setidaknya blog yang saya buat ini sedikit menggugah hati saya untuk mencoba menulis, sambil sedikit-sedikit memperbaiki kualitas tulisan saya.
Bidang saya bukanlah cerpen, puisi, atau pun jurnalistik, tetapi bidang saya adalah sebuah kajian kontroversial. Memang terdengar aneh, namun itulah bidang tulis-menulis yang saya geluti mulai dari kelas 1 SMA hingga saat ini. Saya senang menulis sambil mencurahkan segenap emosi saya, mencoba membayangkan bahwa orang lain akan merasakan hal yang sama dengan apa yang saya rasakan saat menulis. Ya, saya adalah seorang yang kontroversial, yang senang mendapat cemoohan dari orang lain karena tulisan-tulisan saya yang mengusik “ketenangan” hidup mereka.
Dalam kesempatan ini saya ingin sekali berbagi sebuah ungkapan perasaan pribadi yang lucu dan menggelitik. Ah, bukan juga sebuah hal yang humoris, namun agak sedikit nyeleneh. Saya akan memulainya dengan hari. Selasa. Di hari itu entah mengapa perasaan saya tak menentu, gundah, dan aneh. Saya bangun seperti biasa, pukul 3.30 pagi, dan tak ada yang spesial di bangun pagi hari itu. Saya ingat bahwa hari ini saya ada janji dengan seseorang di stasiun UI, pukul 7 pagi. Terlalu lama jika harus saya ceritakan perjalanan saya dari pukul 3.30 sampai 7 pagi, jadi saya singkat saja. Sampailah saya di stasiun UI pukul 7.03. Saya pikir saya sangat terlambat, saya menunggu kawan yang hendak bertemu dengan saya itu di dekat penjual koran. 10 menit, 15 menit, tak saya lihat tanda-tanda kedatangannya. Akhirnya saya kirim pesan singkat padanya, dan dia menjawab “aku udah di kelas, maaf.” Kurang lebih seperti itulah. Hah, saya sedikit kesal mendengarnya. Namun tak ada hak untuk itu, tak ada niat juga untuk marah padanya. Akhirnya saya jalan ke kampus lagi-lagi dengan perasaan yang sangat tak menentu. Sebenarnya pagi hari itu, dia ingin memberikan sesuatu pada saya, sebuah bekal tepatnya. Hmm… jujur saya menolaknya, namun karena dibarengi perasaan tidak enak padanya, saya terima saya, yah, hitung-hitung lumayan untuk mengirit uang sarapan, hehehe. Saya mengirim pesan singkat lagi padanya, menanyakan tentang bagaimana caranya memberikan itu. Ah, terlalu panjang ceritanya. Intinya saja deh… :p
Dalam kejadian di hari Selasa itu, saya seperti mendapat seorang sahabat baru, yang entah mengapa sangat asyik untuk diajak mengobrol, padahal di hari itu secara meyakinkan, dia telah memberikan keterangan tentang dirinya seterang matahari, bahwa usia saya dan dia terpaut sangat jauh, dan dia sudah memiliki seorang anak. Hah, aneh saya ini, sebenarnya saya sudah tahu hal itu jauh sebelum dia member tahu secara terang-terangan, namun entah mengapa masih saja saya dekati dia, dan saya tertarik padanya, padahal, saya juga sudah memiliki wanita lain yang saya sukai juga. Akhirnya setelah saya meraba perasaan, benar bahwa saya ini kekurangan perhatian dari orang-orang yang lebih tua dari saya. Saya memiliki 3 oang kakak kandung, namun semuanya tidak pernah ada yang peka terhadap saya. Dari kakak kandung saya itu, saya cuma mendapat semacam formalitas perhatian tanpa saya mendapat perhatian yang tulus dengan penuh cinta. Justru dari orang lain saya mendapat perhatian, saya merasakan dekatnya seorang kakak bukan dari kakak kandung saya, melainkan dari orang lain yang baru saja saya kena empat bulan ini. Ya, saya memang butuh kasih saying orang yang lebih tua dari saya sebagai kakak, maka dari itu saya merasa nyaman dengannya. Ternyata batu seperti saya pun bisa merasakan perhatian dari orang yang memperhatikan saya. Saya yang selama ini hanya sibuk memperhatikan orang yang mungkin saya sayangi, merasa memiliki kakak baru yang lebih sayang kepada saya. Selama ini saya selalu mendapatkan cinta dan kasih sayang itu dari orang di luar rumah saya, dan saya menerima hal itu.
Depok, Mei 2010
Sedikit Renungan Saja
Pernah ada anak lelaki dengan watak buruk. Ayahnya memberi sekantung
penuh paku, dan menyuruh memaku satu batang paku di pagar pekarangan
setiap kali dia kehilangan kesabarannya atau berselisih paham dengan orang
lain.
Hari pertama dia memaku 37 batang di pagar. Pada minggu-minggu berikutnya
dia belajar untuk menahan diri, dan jumlah paku yang dipakainya berkurang dari
hari ke hari.
Dia mendapatkan bahwa lebih gampang menahan diri daripada memaku di
pagar.
Akhirnya tiba hari ketika dia tidak perlu lagi memaku sebatang paku pun dan
dengan gembira disampaikannya hal itu kepada ayahnya. Ayahnya kemudian
menyuruhnya mencabut sebatang paku dari pagar setiap hari bila dia berhasil
manahan diri/bersabar.
Hari-hari berlalu dan akhirnya tiba harinya dia bisa menyampaikan kepada
ayahnya bahwa semua paku sudah tercabut dari pagar. Sang ayah membawa
anaknya ke pagar dan berkata : “Anakku, kamu sudah berlaku baik, tetapi coba
lihat betapa banyak lubang yang ada dipagar. Pagar ini tidak akan kembali
seperti semula.” Kalau kamu berselisih paham atau bertengkar dengan orang
lain, hal itu selalu meninggalkan luka seperti pada pagar.
Kau bisa menusukkan pisau di punggung orang dan mencabutnya kembali,
tetapi akan meninggalkan luka. Tak peduli berapa kali kau meminta
maaf/menyesal, lukanya tinggal. Luka melalui ucapan sama perihnya seperti luka
fisik.
Kawan-kawan adalah perhiasan yang langka.
Mereka membuatmu tertawa dan memberimu semangat.
Mereka bersedia mendengarkan jika itu kau perlukan, mereka menunjang dan
membuka hatimu.
Tunjukkanlah kepada teman-temanmu betapa kau menyukai mereka.
Alangkah Kasarnya Bangsa Ini
Aku berjalan perlahan menyusuri trotoar dengan lelah yang memuncak. Bukan hanya lelah raga kurasa, lelah pun menerpa batin yang hakekatnya tersembunyi. Padang rumput di samping trotoar seakan tahu kelelahan batinku dengan ikut menyepi, terdiam melihatku berjalan dengan membawa jutaan lelah. Tapi mereka memang selalu diam, tak memiliki mulut dan tak bersuara jika tak disuarakan. Sesekali angin berhembus pelan, sedikit menyejukkan tubuh yang sudah sangat kepanasan. Di depan terlihat seorang bocah berjalan menyusuri trotoar yang juga sedang kulalui. Baju yang ia kenakan dekil tak pernah dicuci berhari-hari. Rambutnya kusut menandakan bahwa ia tak pernah memiliki kesempatan untuk mencuci rambutnya. Matanya nanar mencari-cari sesuatu yang harus ia setorkan pada sore harinya. Di dalam got yang kering tanpa air di samping jalan yang kami lalui ia menemukan sesuatu yang sepertinya semakin menumbuhkan semangatnya di tengah terik matahari yang semakin menggila ini. Tanpa ragu ia melompat ke dalam got tersebut. Mau tak mau hatiku terusik untuk mengetahui apa yang ia cari di dalam got tanpa air tersebut. Wajah puas memancar saat ia kembali dari dalam got. Tangannya memasukkan beberapa botol plastik ke dalam karung besar yang sepertinya telah ia bawa sejak subuh hingga siang hari ini. Kembali ia berjalan menyusuri jalanan untuk mencari botol-botol plastik lainnya. Aku pun kembali meneruskan lelahku. Masih cukup jauh jarak yang harus kulalui.
Dalam perjalanan aku memikirkan, mengapa harus ada anak jalanan dan pemulung seperti anak tadi? Berjuta kata “kalau saja” memenuhi otakku, menambah lelah batinku saja. Namun pikiran itu terus berkelebatan di dalam kepalaku tanpa bisa kubendung. Sesaat berikutnya aku melihat seorang kakek tua berjalan mendorong sepeda onthel tua dengan keranjang penuh berisi nasi uduk yang terbungkus rapi. Siang panas begini mana ada yang mau makan nasi uduk, pikirku. Sesekali si Kakek mengelap peluhnya dengan sapu tangan yang ia simpan di dalam kantong celananya dan mengibas-ngibaskan bajunya untuk mengusir gerah di tubuhnya. Setelah dekat si Kakek menawariku untuk membeli nasi uduknya. Tergerak hatiku untuk membelinya, namun keadaan isi dompetku menolak segala keinginan hatiku itu. Dengan disertai senyum tulus kuangkat tangan kananku untuk menolaknya. Wajahnya jelas mengguratkan kekecewaan. Ah, kakek, kau sudah begitu tua dan lemah, mengapa tak kau suruh saja anak atau cucumu yang masih muda dan kuat untuk menjual nasi uduk itu? Atau mungkin anak-anaknya sudah memiliki pekerjaan di kantor yang nyaman, sehingga mereka tak sudi lagi untuk berjualan nasi uduk keliling? Kembali pikiran-pikiran itu menambah lelah batinku, dan aku pun mau tak mau harus setia mendengar pikiranku bersahutan. Lelah rasanya.
Perjalanan kuteruskan. Entah berapa banyak sopir angkutan umum menawariku untuk ikut bersama mobilnya, namun dengan berat hati aku harus menolaknya, padahal sudah sangat lelah kaki ini.
Aku bagai mendapatkan suntikan tenaga yang sangat besar saat perjalanan sudah mendekati titik akhir, yakni rumahku. Semakin dekat dan semakin dekat ketika kudengar sayup-sayup keributan di belakangku. Kutolehkan wajah, nampak seorang bocah yang dengan karung besar di pundaknya sedang berlari. Wajahnya pucat pasi. Rupanya ia sangat ketakutan. Di belakangnya puluhan orang mengejarnya dengan wajah-wajah marah mereka. Beragam sumpah serapah keluar dari mulut mereka mengiringi teriakan “maling!” yang saling bersahut-sahutan. Si bocah dengan wajah memelas meminta pertolongan dariku ketika ia melintas di depanku. Para pengejar sudah semakin dekat. Ah, aku hanya wanita yang lemah fisik dan keberaniannya. Kuabaikan permintaan tolong si bocah karena aku takut kepada warga-warga yang marah tersebut. Si bocah yang merasa tak mendapat pertolongan dariku, melanjutkan larinya. Sial untuknya, tepat di depan rumahku, ia jatuh tersungkur. Dagunya berdarah. Ia tertangkap dan dipukuli hingga babak belur tanpa sedikit pun mereka memberi kesempatan untuk si bocah membela diri. Rupanya ia disangka telah mencopet. Ya, hanya disangka saja. Bukan berarti benar ia yang telah mencopet. Warga menghajarnya dengan penuh kemarahan seakan-akan mereka sendirilah yang kecopetan. Si bocah hanya bisa meminta ampun tanpa ada seorang pun yang mengacuhkannya. Sering kulihat kejadian seperti itu di berita-berita kriminal, dan tak kusangka aku menyaksikan sendiri adegan tersebut di depan rumahku sendiri. Rasa miris dan malu muncul dan menambah lelah batinku. Jadi, inikah budaya masyarakat Indonesia? Kasar dan main hakim sendiri. Betapa malunya diriku menjadi bagian dari masyarakat yang anarkhis seperti itu. Apakah kita hanya akan bernafas panjang dan seperti biasa sabar mengurut dada? (1)
Depok, 2010
Muhammad Atqo Ferip (Sastra Indonesia 2009)
1.Dikutip dari puisi Taufik Ismail yang berjudul Malam Sabtu
Bangsaku Kasar, Rakyatku Malang
Kulihat api dalam matanya
Aku terus memandang penuh tanya
Apa sebab kemarahannya?
Seorang bocah tergeletak bersimbah darah
Sebagai korban warga yang marah
Tanpa sedikit pun mendengar keluh kesah
Mereka terus menghajar disertai sumpah serapah
Ya ampun!
Seperti inikah mental bangsa ini?
Kasar dan senang menghakimi
Tak punya hati nurani
Bocah pemulung yang malang
Kalau saja hidupmu lebih beruntung, tak perlu kau diserang
Untuk mereka yang bermental anarkis, seperti itukah budaya Indonesia?
Depok, 2010
Muhammad Atqo Ferip (Sastra Indonesia 2009)
Puisi ini dilombakan di Olimpiade Ilmiah Mahasiswa FIB UI dan menjadi 10 besar puisi terbaik)